Ada orang yang menghabiskan waktunya untuk berziarah ke Mekkah
Ada orang yang menghabiskan waktunya untuk berjudi di Miraza
Tapi aku ingin habiskan waktuku di sisimu, sayangku
Bicara tentang anjing-anjing kita yang nakal dan lucu,
Atau tentang bunga-bunga yang manis di lembah Mandalawangi
Ada serdadu-serdadu Amerika yang mati kena bom di Danang
Ada bayi-bayi yang mati lapar di Biafra
Tapi aku ingin mati di sisimu, manisku
Setelah kita bosan hidup dan terus bertanya-tanya
Tentang tujuan hidup yang tak satu setan pun tahu
Mari sini, sayangku
Kalian yang pernah mesra, yang pernah baik, dan simpati padaku
Tegaklah ke langit luas atau awan yang mendung
Kita tak pernah menanam apa-apa
Kita tak pernah kehilangan apa-apa
- SHG, 11 November 1969
3.2.14
13.1.14
Monolog - Dialog
1) Taman Maya
Hei, kamu, aku sangat menyukai dia.
Astaga, sebegitunya hatimu gundah-gulana karena dia, sampai-sampai menyapaku hanya dengan satu kalimat barusan di pagi buta.
Mungkin karena aku ingin mengungkapkannya tapi tidak bisa?
Rasanya hati dan pikiranmu harus dialihkan ke kerja fisik. Atau, kenapa tidak kamu ungkapkan saja kepadanya?
Aku malu.
Kalau boleh kita bertukar peran sekarang, mungkin aku akan mengungkapkan perasaanku padanya. Aku ini spesies tangguh, yang akan selalu mengejar apa yang aku inginkan. Walaupun pada akhirnya hanya gagal yang ada di tangan, aku tidak pernah menyesal.
Hm, tidak. Cinta wanita menurutku cukup disimpan dalam hati. Paling tidak sementara ini.
Oh, itu memang tergantung prinsip dan mazhab yang kamu imani.
Mazhab?
Iya, aku Keynessian, kamu Adam Smith. Aku percaya harus ada tangan tak terlihat yang menyeimbangkan permintaan dan penawaran. Layaknya cinta, harus ada usaha yang dilakukan oleh salah satu atau keduanya, baik terlihat maupun tak terlihat.
Oh, aku baru ingat. (Aku percaya Tuhan pun bisa dianggap sebagai tangan tak terlihat.)
Dan tak ada yang salah jika kamu memilih mazhab Adam Smith. Jodoh di tangan Tuhan. Kamu tetap bisa dianggap berusaha: berusaha menahan diri; berusaha dengan berdoa.
Iya, selama ini aku berusaha menahan diri.
Itu juga berhubungan dengan seleramu terhadap risiko: Apakah kamu mencintai risiko, atau menghindari risiko?
Hahaha, aku rasa kamu sangat cerdas dalam membuat analogi.
2) Taman Dunia
Hei, kamu, apa istimewanya jatuh cinta? Bukankah perasaan jadi tak menentu, perut terasa tergelitik setiap detik, kadang berbunga-bunga, kadang cemburu.
Bukankah karena bermacam-macam itu jadi semakin menarik?
(Ya, seperti cerita fiksi saja. Aku tak tahu kelanjutannya. Aku tak sabar menunggu episode berikutnya.)
(Kemudian aku meninggalkanmu. Pergi ke sudut jendela.)
Hei kamu, lama tidak menyapamu.
Apa kabar? Sepertinya aku akan sering-sering datang kemari beberapa minggu ke depan.
Aku sedang.... gembira.
Gembira seperti tempo hari kamu tersenyum-senyum sendiri di pedestrian?
Hm, mungkin.
Paling tidak kamu menikmati perjalanan sendirianmu itu, juga tak lagi menghujat kedatanganku, walaupun itu kadang-kadang.
Karena kupikir kedatanganmu membuatku merasa semakin kesepian.
Bukankah kamu sudah terbiasa sendirian?
Mungkin lebih tepatnya kamu sering merepotkanku, hahaha.
Ah, kamu enteng sekali bicara hal itu padaku.
Jangan sedih, aku tidak membencimu, kok. Aku senang kalau kamu datang di sore atau malam hari.
(Kemudian kamu bergelayut, lalu lepas dari gantunganmu, meluncur ke bawah, seolah-olah tidak peduli pada kata-kata penghiburku barusan. Hancur. Melebur dengan percikan satu-satu.)
3) Taman Jiwa
Hei, kamu, kenapa selalu ada di sini?
..............................
..............................
..............................
..............................
..............................
..............................
(Sebenarnya aku lupa apa yang barusan kamu katakan, apa yang barusan aku katakan. Tapi aku ingat kamu selalu ada di sini. Duduk. Bercanda. Bersamaku.)
Secara harfiah mungkin aku selalu bersamamu. Semenjak aku pergi dari sini, ada kamu.
Di mana-mana: di otak, di hati, di mata, di telinga, di hidung, di kulit, di mulut.
Kemudian aku kembali kemari, kamu muncul tanpa diminta. Di mana-mana: di otak, di hati, di mata, di telinga, di hidung, di kulit, di mulut.
Jangan sampai aku berpikir untuk mengkultuskan dirimu.
..............................
..............................
..............................
..............................
(Barusan kamu masuk ke otakku, lalu ke mata dan telinga. Lagi-lagi aku lupa apa-apa yang kamu katakan.)
Aku pikir aku seperti mengulang kata-kataku beberapa bulan belakangan. Persis sekali tingkahmu ini dengan kata-kata sakti itu. Persis. Tapi kenapa rupamu berubah lagi? Sepertinya aku terus mengulang kata-kata itu secara periodik. Mengulang lagi. Mengulang lagi. Seperti lingkaran setan. Sayangnya aku tidak tahu kapan usainya. Aku tidak tahu kapan kamu benar-benar menjadi nyata.
Ada kamu di sini semalam, lusa malam, dan malam-malam sebelum ini. Ada kamu yang sulit menjadi kenyataan.

Jakarta, 13 Januari 2013
1.1.14
Catatan Akhir Tahun
Malam ini malam di mana orang-orang merayakan malam tahun baru, menyulut petasan, menyalakan kembang api. Suara ledakannya terdengar di sana-sini, termasuk di sudut bilik saya. Suara anak-anak kecil ramai di luar. Sempat saya ke beranda untuk mengintip sedikit percik kembang api yang kuning keemasan menyala di langit sembari mengembalikan handuk yang baru dipakai. Lalu saya kembali lagi ke kamar, tak menghiraukan hingar-bingar petasan yang sudah ribut sejak senja tiada.
Saya kemudian ingat dengan berbagai kejadian di hari kemarin, kemarin lusa, dan kemarinnya kemarin lusa. Setahun ini sungguh banyak peristiwa yang berharga untuk dijadikan kenangan. Setahun ini banyak kisah yang bisa dijadikan pelajaran. Kalau ditanya soal tahun paling membahagiakan semenjak saya menyeberangi Bakauheni 3 tahun silam, 2013 mungkin jawaban saya. Bukan soal peristiwa-peristiwa yang saya alami. Bukan soal orang-orang yang saya temui. Tapi tentang diri saya. Tentang saya yang begitu menikmati menjadi diri sendiri di tahun ini.
Sebenarnya bukan perkara istimewa ketika saya bilang ini adalah salah satu tahun paling membahagiakan. Saya pun pernah berkata demikian ketika saya di sekolah dasar dan menengah. Pun akan mengatakan hal serupa di tahun-tahun mendatang, ketika saya mengalami kejadian signifikan yang memengaruhi emosi saya. Toh, setiap kata-kata superlatif yang saya lontarkan mungkin hanya akan menyisakan potongan-potongan kenangan yang tidak utuh karena keterbatasan memori. Otak saya percaya-percaya saja secara pars pro toto bahwa setahun ini sungguh membahagiakan. Tetapi sekali lagi ini bukan karena peristiwa-peristiwa yang saya alami juga orang-orang yang saya temui. Ini karena saya telah menjadi diri sendiri.
Ketika usia saya 16, saya pernah terlibat dalam suatu percakapan kecil dengan guru saya. Waktu itu sudah malam, dan kami bukan sedang duduk di kelas atau pun lapangan apel. Malam itu kami sedang berada di bus studi wisata yang sedang melaju di dataran tinggi kota Bandung, duduk di kursi yang berurutan depan-belakang. Saya senang sekali bertingkah layaknya anak kecil kala itu, apa saja yang menarik dikomentari dan dikagumi. Tetapi Bandung memang begitu memukau malam itu. Lautan kelap-kelip lampu rumah penduduk dari kejauhan yang jarang saya lihat membuka obrolan kecil. Potongan dialog yang saya ingat di antara celotehan beliau, atau lebih tepatnya bisik lirih di kegelapan bus malam itu:
"Kamu tahu, yan, apa yang belum bisa saya raih sampai saat ini?"
"Apa, Bu?"
"Saya belum bisa menjadi diri sendiri."
Sedikit demi sedikit saya mulai mengerti arti kalimat dari guru saya itu. Bahagia karena menjadi diri sendiri menurut saya adalah bahagia karena sudah memerdekakan jiwa dari belenggu ketidakpercayaan terhadap diri sendiri, mungkin juga terhadap orang lain. Dan menjadi diri sendiri versi saya adalah "menjadi diri terbaik saya, be my best-self", melakukan hal baik dengan cara terbaik versi saya. Ketika menjadi diri sendiri, saya bisa berkata, berpikir, bertindak, secara jujur. Dan saya hanya bisa jatuh cinta ketika saya menjadi diri sendiri. Saya baru sadar kenapa saya sempat kesulitan jatuh cinta (oh my God -_-), karena--mungkin--saya tidak menjadi diri sendiri kala itu.
Saya pernah bertemu dengan orang-orang yang begitu bersinar karena mereka menjadi diri "terbaik" mereka. Mereka bukannya tanpa cacat, pun bukan tidak mengetahui mereka ada cacat di mana. Mereka sanggup mengatakan cacat mereka dengan senyum yang lebar dan yakin bahwa hal itu tidak menurunkan kualitas mereka. Mereka baik lewat cara mereka masing-masing.
Oleh karena itu, walaupun hari ini sebenarnya serupa dengan hari-hari biasanya, hanya karena ada momentum yang membuat orang-orang itu sengaja bersorak-sorai bahkan berteriak di jejaring sosial bahwa ini adalah lembaran baru mereka, saya ingin menjadi diri sendiri dengan lebih baik lagi di tahun 2014. Kita tak akan bisa menjadi diri sendiri jika kita tak mengenali diri. Maka langkah pertama yang harus saya lakukan adalah memetakan kembali siapakah diri saya, apa tujuan saya, kapan, dan bagaimana cara mencapainya--walaupun 'bagaimana cara' ini sungguh banyak dan fleksibel, ada banyak jalan menuju roma.
Selamat tinggal 2013. Selamat datang 2014. :)
Jakarta, ditemani secangkir susu
31 Desember 2013
[PUISI] Aku Ingin
Aku ingin mencintaimu dengan sederhana:
dengan kata yang tak sempat diucapkan kayu
kepada api yang menjadikannya abu
Aku ingin mencintaimu dengan sederhana:
dengan isyarat yang tak sempat disampaikan awan
kepada hujan yang menjadikannya tiada
- Sapardi Djoko Damono
dengan kata yang tak sempat diucapkan kayu
kepada api yang menjadikannya abu
Aku ingin mencintaimu dengan sederhana:
dengan isyarat yang tak sempat disampaikan awan
kepada hujan yang menjadikannya tiada
- Sapardi Djoko Damono
12.10.13
Zona Nyaman
Beberapa minggu yang lalu, saya sempat kepikiran soal zona nyaman, soal melanggar batas zona nyaman, dan motivasi di balik perilaku pemberontakan itu. Kenapa seringkali motivator-motivator itu berbicara soal keluar dari zona nyaman? Untuk apa kita mesti bersusah-susah keluar dari zona nyaman kita? Bukankah manusia itu mencari kebahagiaan, bukankah zona nyaman itu merupakan zona di mana dia akan merasa bahagia? Bukankah kebahagiaan itu relatif tiap orang? Dengan begitu, bukankan uang, jabatan, kekuasaan, atau parameter sukses lainnya, yang biasanya didengungkan orang sebagai motivasi untuk keluar dari zona nyaman pun jadi relatif?
Saya kepikiran hal ini ketika saya tengah bersantai di petak ruang tamu kosan sambil menonton drama Korea. Saya bahagia saat itu: bisa tidur-tiduran, makanan delivery tinggal telepon, nonton drama Korea dengan pemeran utama favorit saya si Joo Won, dan bercengkerama atau melakukan kegiatan absurd bersama teman-teman kosan saya. Saya ingat kalau besok ternyata hari Senin, dan saya harus masuk kantor dan rela berdesak-desakan di commuter line pagi dan malam harinya untuk bekerja, sementara teman-teman kosan saya yang lain masih bisa melakukan kegiatan seperti saya di atas sembari menunggu wisuda.
Kantor saya berada di LPDP, komplek Kementerian Keuangan RI, di Lapangan Banteng, Jakarta. Kosan saya di Bintaro, Tangerang Selatan. Untuk menuju kantor, saya harus naik angkot ke Stasiun Pondok Ranji, lalu naik commuter line sampai Tanah Abang, menyambung naik Kopaja 502, dan Kopaja 20. Saya harus bangun pagi setiap hari kerja dan berangkat maksimal jam 6 pagi dari kosan agar tidak terlambat masuk kantor. Commuter line selalu penuh sesak di jam-jam kerja, apalagi semenjak tarif progresif yang murah itu diberlakukan. Pulang kantor lama perjalanan biasanya lebih panjang karena kereta yang disediakan datang setiap 30 menit sekali, tidak seperti kereta pagi yang datang setiap 10 menit sekali, sehingga biasanya saya sampai di kosan dengan range waktu antara jam 19.30 s.d. jam 20.00 jika jam pulang kerja normal, dan lebih malam kalau ngelembur. Rutinitas ini selalu saya lakukan semenjak saya PKL kemarin sampai dengan sekarang saat saya mulai magang di LPDP.
Tiap pulang kantor, saya menyaksikan teman-teman kosan saya sedang bercengkerama satu sama lain atau pun dengan laptopnya sendiri-sendiri. Saya langsung kepikiran betapa enaknya mereka, bisa bersantai-santai di depan TV pada jam itu, tidur bisa lebih lama, tidak berdesak-desakan—saya sering mengistilahkan berdesak-desakan ini dengan frase "padat mirip sarden", padahal kalau dipikir-pikir sarden itu tidak berdesak-desakan—di commuter line, dan keuntungan-keuntungan lainnya yang bermunculan satu-satu di kepala saya pada saat itu. Seringkali, perasaan itu muncul dan membuat motivasi bekerja saya sedikit goyah. Namun, setelah dijalani beberapa lama, saya mulai menikmati rutinitas baru saya tersebut, dan saya sedikit demi sedikit mulai paham maksud dari istilah "menerabas batas zona nyaman" itu.
Saya mulai menikmati saat-saat berebut masuk kereta agar dapat tempat duduk, atau lebih tepatnya agar dapat sedikit ruang untuk berdiri, agar saya tidak perlu menunggu kereta berikutnya lagi. Terkadang, fenomena di dalam kereta itu lucu dan bisa bikin tersenyum. Manusia-manusia kereta sudah terbiasa dengan berdesak-desakan dan bersenggol-senggolan. Kereta bukan lagi sekadar jembatan pergi-pulang. Dan bagi saya, kereta merupakan ruang publik yang mempertemukan dan mendekatkan beragam jenis masyarakat dari berbagai latar. Pengalaman berangkutan-umum-ria ini membuat saya lebih mengenal wajah Jakarta.
Selain itu, ada banyak hal yang dapat saya pelajari di kantor, baik dari hal teknis seperti kegiatan administrasi, maupun inspirasi dari orang-orang yang lebih dahulu berjuang di LPDP. Kegiatan forum group discussion dengan para pakar merupakan kesempatan berharga untuk bertukar pikiran dengan orang-orang hebat itu. Selain itu, LPDP sering mengadakan training untuk karyawan barunya seperti training budaya kerja dan manajemen. Lelahnya naik kereta tidak sebanding apabila saya berandai-andai betapa berlimpahnya ilmu di LPDP untuk digali.
Beruntunglah saya yang dapat menjelajah Bintaro-Jakarta Pusat yang jaraknya sekitar 25 kilometer dalam waktu 90 menit saja berkat kereta. Bayangkan jika saya harus berjalan kaki pulang-pergi setiap harinya. Kereta—yang walaupun keadaannya sekarang masih lebih dekat cacat daripada sempurna—adalah buah dari usaha menerabas zona nyaman manusia di masa lalu. Jika dicocokkan dengan salah satu nilai atau budaya kerja LPDP, menerabas batas zona nyaman dekat dengan nilai “kesempurnaan”.
Lho, mengapa “kesempurnaan”? Apa hubungannya menerabas batas zona nyaman dengan kesempurnaan? Kesempurnaan bukanlah sesuatu yang hakiki karena sifatnya pun relatif. Kita tidak akan tahu keadaan sesuatu itu sudah sempurna atau belum, bisa jadi ada sesuatu yang bisa diperbaiki lagi. Pada akhirnya, yang tersisa dari kesempurnaan adalah usaha kita untuk terus ingin lebih baik. Orang-orang dulu itu, menerabas zona nyamannya untuk tidak hanya duduk diam menyaksikan sesamanya berjalan kaki jauh. Mereka mulai mencipta roda dari batu agar pekerjaan mereka dapat diselesaikan lebih cepat dan mudah. Roda batu itu kemudian berkembang terus menjadi roda kayu, menjadi pedati, dan seterusnya, yang menjadi cikal-bakal kendaraan umum yang berseliweran di jalan raya kita pada hari ini.
Keinginan untuk terus lebih baik, atau dalam istilah bahasa Inggris populer dengan istilah improvement ini pun sering diterapkan dalam manajemen suatu organisasi. Di Jepang, ada istilah kaizen untuk usaha perbaikan terus-menerusnya dengan menjalankan satu siklus PDCA (plan-do-check-action). Di Kementerian Keuangan, termasuk LPDP, ada satu value yang menggelorakan semangat untuk terus lebih baik, “kesempurnaan”. Saya pun sempat terkecoh dengan istilah kesempurnaan ini. Saya pernah ada di suatu masa di mana saya terlalu takut untuk membuat kesalahan dalam bekerja. Namun, setelah beberapa lama bekerja, saya memahami bahwa tidak ada yang salah dengan melakukan kesalahan asalkan kita berusa untuk memperbaikinya terus di hari depan, atau dengan kata lain selalu mengevaluasi apa pun yang telah kita kerjakan.
Akhirnya, setelah mengalami kejadian-kejadian di atas, saya punya istilah sendiri dari "menerabas batas zona nyaman", yaitu "mengekspansi batas zona nyaman". Saya mendefinisikan keadaan tersebut bukan keluar dari zona nyaman saya, tetapi saya memperluas area di mana saya bisa bahagia di dalamnya. Saya melakukan suatu improvement dalam diri saya. Kalau diilustrasikan secara sederhana, kurang lebih maksud saya seperti ini:
Arnold H. Glasow berkata, Improvement begins with I. Semua perbaikan itu berawal dari diri sendiri. Tak ada peradaban yang tidak dihasilkan dari perbaikan terus-menerus dan semua itu selalu berawal dari hal-hal terdekatnya. Oleh karena itu, tidak berlebihan apabila Kahlil Gibran, seorang pujangga yang tersohor hingga abad ini, menggelorakan semangat untuk terus maju menuju kesempurnaan dalam syairnya, yang ternyata kesempurnaan menurutnya pun bukanlah sesuatu hal tanpa haling-rintang—“Maju! Jangan berhenti. Bergerak maju adalah bergerak menuju kesempurnaan. Maju, dan jangan takut dengan duri serta batu-batu tajam dalam kehidupan.“1)
___________
1) March on. Do not tarry. To go forward is to move toward perfection. March on, and fear not the thorns, or the sharp stones on life's path.
26.8.13
Kesengsem
PERHATIAN!
Postingan ini mengandung delusi & kerandoman yang tak dapat diidentifikasi jenisnya maupun dikalkulasi besarannya. Sekali-sekali membuat blog lebih berwarna dengan tulisan sejenis ini mungkin gak ada salahnya, hahaha.
---------------------------------------------------
Akhir-akhir ini saya menyadari suatu hal: kejadian yang lumayan sering membuat saya menggumam bersyukur, "Tuhan, terima kasih atas karya indah luar biasanya!" selain ketika melihat pemandangan alam yang indah menakjubkan, adalah ketika saya mendengar dan menonton performa dari orang-orang yang saya kagumi.
Contohnya ini, Jun Sung Ahn dengan biolanya, main Canon in C versi rock. Udah mainnya jago, mukanya unyu pula, gimana gak kesengsem.
Lalu, ada juga nih yang bikin saya kesengsem (lagi) akhir-akhir ini. Joo Won! Nama lengkapnya Moon Joo Won. Sudah kesengsem dengan dia dari dulu waktu main jadi Gu Majun di drama Korea Baker King Kim Takgu (2010). Padahal dulu di situ dia antagonis perannya, tapi tak sengaja tak dinyana malah kesengsemnya sama dia. Kemarin-kemarin saya baru tahu dia main drama baru, judulnya Good Doctor. Dia jadi dokter yang menderita savant syndrome gitu, lack of social ability but prodigy in particular area. Yah, tapi mau diapain juga, mau jadi polisi, jadi pastry, jadi orang autis sekali pun, tetep aja ganteng. Akhirnya gara-gara cinta lama bersemi kembali, saya mulai menonton drama-drama Joo Won lain yang belum saya tonton sembari nunggu episode baru Good Doctor--yang juga lagi running di Korea--keluar (Oh, ya, seperti biasa, drama Joo Won kali ini pun ratingnya sangat bagus!).
Kemarin sempat preview Ojakgyo Brothers (baca: nonton drama di-skip-skip cuma nonton yang ada Joo Won-nya dulu muahaha), dan Joo Won di situ seperti biasa ganteng kali mak! Gentle! Mana itu pertama kalinya saya nonton drama dia jadi protagonis & normal, sebelumnya kan di Kim Takgu dia antagonis & di Good Doctor dia kena savant syndrome. Entah, ya, kenapa itu kombinasi antara matanya (Saya paling suka fitur wajahnya yang ini! Habis itu bibirnya, terus hidung juga. *semuanya aja*), bibir, hidung, suara, ekspresi, & kepribadian yang dimainkan di dramanya keliatan bagus banget di mata saya, tampan! Sampai-sampai semalam saat saya menyaksikan klip gambar bergerak yang isinya dia bermain peran itu, tanpa sadar saya menyenandungkan puisinya Rangga AADC dengan sedikit modifikasi: "Lalu kali ini aku melihat karya surga dari mata seorang adam..."
Hadeh. Mudah-mudahan saya nanti punya suami yang gantengnya kayak Joo Won & hanya mencintai saya, ya, sebagai istrinya. (Udah aminin aja. :3)
Good bye & have a nice day. Selamat melanjutkan aktivitas!
Edit:
Saya sudah menonton 7 episode pertama Bridal Mask (Gaksital), salah satu dramanya Joo Won juga di tahun 2012. DAN TERNYATA DRAMANYA YANG INI KEREN BANGET, SODARA-SODARA!
Drama kolosal gitu tentang penjajahan Jepang di Korea, liat aja sinopsisnya di internet atau tonton sendiri, gak akan nyesel. Inilah yang bikin saya kagum dengan drama Korea, bikinnya itu serius, niat, total! Drama2nya itu mendekati kelas film layar lebar baik properti, efek, story-line, maupun akting para aktor/aktrisnya. Korean dramas are the best! Pantes ratingnya bagus banget & di drama ini Joo Won menang penghargaan Excelence Award & Popularity Award dari KBS Drama Award! Aduh Bang Joo Won~
Edit++:
Saya akhirnya menyelesaikan drama Joo Won yg sebelumnya saya kira jelek, 7th Grade Civil Servant, ternyata bagus juga sodara2! 

Drama ber-genre romance-comedy ini sukses bikin saya kesengsem sekesengsem-kesengsemnya (lagi) karena selain Joo Won di sini protagonis, normal, romantis seperti biasa tapi lebih kasual, gak seserius/lonely kayak di drama2 dia biasanya, unyu, lucu, nakal gimana gitu, aaaaaaaaaaahhhh 

Tapi memang, saya akui dari segi cerita drama ini ringan, nontonnya bikin kita happy, senyum2 gimana gitu hahaha. Sebelumnya saya agak males nonton drama yg ini. Sebabnya: pertama, saya udah liat komentar orang2 duluan, banyak yg bilang drama ini ibarat 'noda' riwayat kariernya Joo Won yg cemerlang gitu; kedua, saya sempat nonton 5 episode pertama drama ini, awalnya sih oke-oke aja, mana Joo Won cakep banget di drama ini, cute-nya keluar banget tanpa dia harus autis kayak di Good Doctor >_< Jadi bisa liat ekspresi dia seutuhnya, senormal2nya, & banyak adegan di mana dia tidur! Entah kenapa saya suka banget ngeliat Joo Won kalo lagi tidur, pingin dipeluk. >_< Tapi, di episode awal2 itu banyak adegan yg kesannya 'cheap' gimana gitu, gak kayak drama2 Joo Won biasanya deh. Jadinya sempet males lanjutin; ketiga, awalnya saya liat si Choi Kang Hee, lawan mainnya Joo Won di sini, gak cocok banget deh dengan Joo Won, selisih 10 tahun gitu lebih tua. >_<
Eh, berhubung bosen & pingin isi amunisi & asupan gizi Joo Won lagi, ditonton juga deh dramanya. Dan ternyata gak nyesel nontonnya nyampe habis! >_< Kalo dipikir2 gak jelek juga ah, cuma beda genre aja, akting Joo Won sama Choi Kang Hee di sini juga bagus BANGET! Choi Kang Hee lama2 kalo diliat unyu juga, padahal umurnya udah 36-an tuh pas main drama ini, gila awet muda banget! >_<
Dengan begini akhirnya saya resmikan SEMUA drama Joo Won recommended hahaha. Boleh dipilih tonton dramanya, semuanya bagus, semuanya cemerlang & masterpiece:
1. Baker King Kim Takgu -- Gu Majun (antagonis, kesepian, posesif, ahli bikin roti walaupun bukan passion-nya di situ, iri dengan Takgu, ini pertama kalinya kenal Joo Won & suka dia >_<)
2. Ojakgyo Brothers -- Hwang Tae Hee (protagonis, polisi, kesepian, banyak scene romantis tapi lebih banyak dia gak pekanya, posesif & kalo lagi cemburu unyu >_<, cool, pendiam/penyendiri, ramah, gentle BANGET, baik hati banget, hormat & nurut dengan orang tua >_< Sempet jadi the best Joo Won's character versi Dian hahaha)
3. Bridal Mask (Gaksital) -- Lee Kang To (protagonis, polisi & gaksital, kesepian walaupun dari luar terlihat oppa gangnam style, kereeeen pinter berantem *eh kayaknya di semua dramanya Joo Won selain Good Doctor, Joo Won itu karakternya cowok2 atletis yg kalo berantem jago & terlihat keren, kalo lagi marah tetep ganteng gitu >_<*, romantis *yg jarang tersampaikan akibat banyaknya action scene di film ini, gak sebanyak di Ojakgyo Brothers atau pun 7th Grade Civil Servant yg amunisi scene2 so sweet-nya melimpah
)

4. 7th Grade Civil Servant -- Han Gil Ro (protagonis, oppa gangnam style, anak orang kaya, seenak perut semau gue, manja, cute, lucu, unyu, romantis
udah dijelasin di atas ya.)

5. Good Doctor -- Park Shi On (protagonis, autis, jenius, cute, unyu, mukanya beberapa mirip di beberapa scene di 7th Grade Civil Servant, polos banget >_<)
Kalo dilihat dari role2 yg udah diambilnya, Joo Won punya range akting yg luas banget. Joo Won secara harfiah benar2 menjelma menjadi karakter dalam drama yg sedang dia mainkan. Perbandingannya begini: Hwang Tae Hee di Ojakgyo Brothers itu sumpah gentleman abis, tipe cowok baik2 yg sangat menghormati orang lain & orang tua, cowok pendiam yg menyimpan luka dari masa kecilnya sehingga tumbuh jadi orang yg kesepian, terus dibandingkan dengan Han Gil Ro di 7th Grade Civil Servant yg seenak perut semau gue, ekstrovert & pencair suasana, romantis, lucu, konyol, & kekanak2an, terus dibandingin lagi dengan Park Shi On di Good Doctor yg sama sekali gak tau apaan itu namanya cinta apalagi romantis2an, yg autis & gak bisa marah setemperamental dia di drama lain, gak bisa berantem kayak di drama Joo Won lainnya. Pas saya nonton Good Doctor, saya bener2 lupa kalo Park Shi On itu Joo Won, kalo Park Shi On itu orang yg sama dengan Hwang Tae Hee yg gentleman & jago berantem, atau Han Gil Ro yg romantis, atau Majun yg penuh dendam, atau pun Lee Kangto yg heroik (& jago berantem juga haha). Padahal biasanya aktor/aktris itu identik dengan 1 genre, misal komedi ya komedi, kalo main sedih2an gak cocok gimana gitu. Atas keberhasilan Joo Won dalam mengelola range emosinya dalam drama, saya akui Joo Won memang benar2 aktor berbakat.
Looking forward to film barunya Joo Won dengan Kim Ah Jong "Catch Me" nih, romance comedy juga genre-nya. Sama gosip2nya mau main film juga sama Sulli judulnya "Fashion King". Aaaah, Joo Won oppa. Lekaslah kau main film or drama lagi biar daku bisa menikmati dirimu lagi, daku ingin melihat surprise dari dirimu, adegan gimana lagi yg akan kau tampilkan padaku! 

*antara agak sedih, merinding, & mau muntah ngetik kata2 barusan hahahaha*
Oke deh, sekian edit++ kali ini. See you, readers. Joo Won oppa, sementara tipe cowok ideal saya kayak Joo Won oppa loh hahahahahaha 

*merinding lagi*
29.7.13
-- Pak Eko Prasetyo, Direktur Umum Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP), ketika melepas kami berlima selesai studi lapangan.Rencanakan hidup kalian. Atur hidup & tentukan tujuan kalian dari sekarang. Lakukan hal-hal yang dapat membuat kalian lebih dekat dengan tujuan kalian tersebut. Jika kalian ingin sukses, kalian tidak hanya butuh intelegensi tetapi juga karakter. Asah itu semua selagi dini. Kalian punya value. Kalian memiliki otak-otak yang cerdas & mental-mental yang tangguh. Tetapi, jika kalian tidak mengarahkan kapal kalian ke tujuan yang benar, kalian akan dapat dikalahkan oleh orang-orang yang value-nya tidak lebih tinggi dari kalian. Mereka akan mengalahkan kalian dengan keberuntungan-keberuntungan yang mereka miliki: kekayaan, keberlimpahan informasi, & teman-teman yang berpengaruh.
Subscribe to:
Posts (Atom)