Pages

12.10.13

Zona Nyaman

Beberapa minggu yang lalu, saya sempat kepikiran soal zona nyaman, soal melanggar batas zona nyaman, dan motivasi di balik perilaku pemberontakan itu. Kenapa seringkali motivator-motivator itu berbicara soal keluar dari zona nyaman? Untuk apa kita mesti bersusah-susah keluar dari zona nyaman kita? Bukankah manusia itu mencari kebahagiaan, bukankah zona nyaman itu merupakan zona di mana dia akan merasa bahagia? Bukankah kebahagiaan itu relatif tiap orang? Dengan begitu, bukankan uang, jabatan, kekuasaan, atau parameter sukses lainnya, yang biasanya didengungkan orang sebagai motivasi untuk keluar dari zona nyaman pun jadi relatif?

Saya kepikiran hal ini ketika saya tengah bersantai di petak ruang tamu kosan sambil menonton drama Korea. Saya bahagia saat itu: bisa tidur-tiduran, makanan delivery tinggal telepon, nonton drama Korea dengan pemeran utama favorit saya si Joo Won, dan bercengkerama atau melakukan kegiatan absurd bersama teman-teman kosan saya. Saya ingat kalau besok ternyata hari Senin, dan saya harus masuk kantor dan rela berdesak-desakan di commuter line pagi dan malam harinya untuk bekerja, sementara teman-teman kosan saya yang lain masih bisa melakukan kegiatan seperti saya di atas sembari menunggu wisuda.

Kantor saya berada di LPDP, komplek Kementerian Keuangan RI, di Lapangan Banteng, Jakarta. Kosan saya di Bintaro, Tangerang Selatan. Untuk menuju kantor, saya harus naik angkot ke Stasiun Pondok Ranji, lalu naik commuter line sampai Tanah Abang, menyambung naik Kopaja 502, dan Kopaja 20. Saya harus bangun pagi setiap hari kerja dan berangkat maksimal jam 6 pagi dari kosan agar tidak terlambat masuk kantor. Commuter line selalu penuh sesak di jam-jam kerja, apalagi semenjak tarif progresif yang murah itu diberlakukan. Pulang kantor lama perjalanan biasanya lebih panjang karena kereta yang disediakan datang setiap 30 menit sekali, tidak seperti kereta pagi yang datang setiap 10 menit sekali, sehingga biasanya saya sampai di kosan dengan range waktu antara jam 19.30 s.d. jam 20.00 jika jam pulang kerja normal, dan lebih malam kalau ngelembur. Rutinitas ini selalu saya lakukan semenjak saya PKL kemarin sampai dengan sekarang saat saya mulai magang di LPDP.

Tiap pulang kantor, saya menyaksikan teman-teman kosan saya sedang bercengkerama satu sama lain atau pun dengan laptopnya sendiri-sendiri. Saya langsung kepikiran betapa enaknya mereka, bisa bersantai-santai di depan TV pada jam itu, tidur bisa lebih lama, tidak berdesak-desakan—saya sering mengistilahkan berdesak-desakan ini dengan frase "padat mirip sarden", padahal kalau dipikir-pikir sarden itu tidak berdesak-desakan—di commuter line, dan keuntungan-keuntungan lainnya yang bermunculan satu-satu di kepala saya pada saat itu. Seringkali, perasaan itu muncul dan membuat motivasi bekerja saya sedikit goyah. Namun, setelah dijalani beberapa lama, saya mulai menikmati rutinitas baru saya tersebut, dan saya sedikit demi sedikit mulai paham maksud dari istilah "menerabas batas zona nyaman" itu.

Saya mulai menikmati saat-saat berebut masuk kereta agar dapat tempat duduk, atau lebih tepatnya agar dapat sedikit ruang untuk berdiri, agar saya tidak perlu menunggu kereta berikutnya lagi. Terkadang, fenomena di dalam kereta itu lucu dan bisa bikin tersenyum. Manusia-manusia kereta sudah terbiasa dengan berdesak-desakan dan bersenggol-senggolan. Kereta bukan lagi sekadar jembatan pergi-pulang. Dan bagi saya, kereta merupakan ruang publik yang mempertemukan dan mendekatkan beragam jenis masyarakat dari berbagai latar. Pengalaman berangkutan-umum-ria ini membuat saya lebih mengenal wajah Jakarta.

Selain itu, ada banyak hal yang dapat saya pelajari di kantor, baik dari hal teknis seperti kegiatan administrasi, maupun inspirasi dari orang-orang yang lebih dahulu berjuang di LPDP. Kegiatan forum group discussion dengan para pakar merupakan kesempatan berharga untuk bertukar pikiran dengan orang-orang hebat itu. Selain itu, LPDP sering mengadakan training untuk karyawan barunya seperti training budaya kerja dan manajemen. Lelahnya naik kereta tidak sebanding apabila saya berandai-andai betapa berlimpahnya ilmu di LPDP untuk digali.

Beruntunglah saya yang dapat menjelajah Bintaro-Jakarta Pusat yang jaraknya sekitar 25 kilometer dalam waktu 90 menit saja berkat kereta. Bayangkan jika saya harus berjalan kaki pulang-pergi setiap harinya. Kereta—yang walaupun keadaannya sekarang masih lebih dekat cacat daripada sempurna—adalah buah dari usaha menerabas zona nyaman manusia di masa lalu. Jika dicocokkan dengan salah satu nilai atau budaya kerja LPDP, menerabas batas zona nyaman dekat dengan nilai “kesempurnaan”.

Lho, mengapa “kesempurnaan”? Apa hubungannya menerabas batas zona nyaman dengan kesempurnaan? Kesempurnaan bukanlah sesuatu yang hakiki karena sifatnya pun relatif. Kita tidak akan tahu keadaan sesuatu itu sudah sempurna atau belum, bisa jadi ada sesuatu yang bisa diperbaiki lagi. Pada akhirnya, yang tersisa dari kesempurnaan adalah usaha kita untuk terus ingin lebih baik. Orang-orang dulu itu, menerabas zona nyamannya untuk tidak hanya duduk diam menyaksikan sesamanya berjalan kaki jauh. Mereka mulai mencipta roda dari batu agar pekerjaan mereka dapat diselesaikan lebih cepat dan mudah. Roda batu itu kemudian berkembang terus menjadi roda kayu, menjadi pedati, dan seterusnya, yang menjadi cikal-bakal kendaraan umum yang berseliweran di jalan raya kita pada hari ini.

Keinginan untuk terus lebih baik, atau dalam istilah bahasa Inggris populer dengan istilah improvement ini pun sering diterapkan dalam manajemen suatu organisasi. Di Jepang, ada istilah kaizen untuk usaha perbaikan terus-menerusnya dengan menjalankan satu siklus PDCA (plan-do-check-action). Di Kementerian Keuangan, termasuk LPDP, ada satu value yang menggelorakan semangat untuk terus lebih baik, “kesempurnaan”. Saya pun sempat terkecoh dengan istilah kesempurnaan ini. Saya pernah ada di suatu masa di mana saya terlalu takut untuk membuat kesalahan dalam bekerja. Namun, setelah beberapa lama bekerja, saya memahami bahwa tidak ada yang salah dengan melakukan kesalahan asalkan kita berusa untuk memperbaikinya terus di hari depan, atau dengan kata lain selalu mengevaluasi apa pun yang telah kita kerjakan.

Akhirnya, setelah mengalami kejadian-kejadian di atas, saya punya istilah sendiri dari "menerabas batas zona nyaman", yaitu "mengekspansi batas zona nyaman". Saya mendefinisikan keadaan tersebut bukan keluar dari zona nyaman saya, tetapi saya memperluas area di mana saya bisa bahagia di dalamnya. Saya melakukan suatu improvement dalam diri saya. Kalau diilustrasikan secara sederhana, kurang lebih maksud saya seperti ini:

Arnold H. Glasow berkata, Improvement begins with I. Semua perbaikan itu berawal dari diri sendiri. Tak ada peradaban yang tidak dihasilkan dari perbaikan terus-menerus dan semua itu selalu berawal dari hal-hal terdekatnya. Oleh karena itu, tidak berlebihan apabila Kahlil Gibran, seorang pujangga yang tersohor hingga abad ini, menggelorakan semangat untuk terus maju menuju kesempurnaan dalam syairnya, yang ternyata kesempurnaan menurutnya pun bukanlah sesuatu hal tanpa haling-rintang—“Maju! Jangan berhenti. Bergerak maju adalah bergerak menuju kesempurnaan. Maju, dan jangan takut dengan duri serta batu-batu tajam dalam kehidupan.“1)



___________
1) March on. Do not tarry. To go forward is to move toward perfection. March on, and fear not the thorns, or the sharp stones on life's path.