Pages

29.7.13

Rencanakan hidup kalian. Atur hidup & tentukan tujuan kalian dari sekarang. Lakukan hal-hal yang dapat membuat kalian lebih dekat dengan tujuan kalian tersebut. Jika kalian ingin sukses, kalian tidak hanya butuh intelegensi tetapi juga karakter. Asah itu semua selagi dini. Kalian punya value. Kalian memiliki otak-otak yang cerdas & mental-mental yang tangguh. Tetapi, jika kalian tidak mengarahkan kapal kalian ke tujuan yang benar, kalian akan dapat dikalahkan oleh orang-orang yang value-nya tidak lebih tinggi dari kalian. Mereka akan mengalahkan kalian dengan keberuntungan-keberuntungan yang mereka miliki: kekayaan, keberlimpahan informasi, & teman-teman yang berpengaruh.
-- Pak Eko Prasetyo, Direktur Umum Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP), ketika melepas kami berlima selesai studi lapangan.

20.7.13

Catch Me If You Can

Di bawah ini ada tulisan abang kelas saya dulu di SMA, Bang Fajar Sofyantoro. Abang yang satu ini memang pinter banget. Dulu beliau adalah abang absen saya di kelas X-9 & tergabung dalam beberapa tim mata pelajaran sekolah (orang-orang di sekolah kami yang biasanya mewakili sekolah untuk mengikuti berbagai lomba terkait mata pelajaran tersebut). Sekarang beliau sedang mengambil program S2-nya di Jepang. Simak tulisannya, yuk! Sangat menginspirasi & memotivasi. :)

-------------

Ke luar negerinya nanti kalau kamu mau ambil master atau doktor saja. Ibu ingin kamu kuliah di Indonesia dulu Le.

Begitulah, sederhana saja kekata yang Ibu sampaikan padaku waktu itu. Ketika kelas dua belas sudah di penghujung tahun ajaran, saat semua anak SMA tingkat akhir sedang bersibuk mempersiapkan diri untuk masuk ke jenjang studi selanjutnya. Aku percaya kita berdua punya pemahaman yang sama, bahwa restu orangtua adalah kunci pembuka keberkahan bagi setiap aktivitas dan pilihan-pilihan dalam hidup. Hingga, cukuplah nasihat ini untukku waktu itu, untuk tak lagi tergiur dengan ajakan dari beberapa rekan turut berebut mendaftar universitas di negeri seberang, agar kemudian bisa berfokus dengan ujian yang akan berlangsung waktu itu.

Beberapa tahun berselang, ketika akhirnya aku tertakdir untuk melanjutkan studi di Yogyakarta, dalam sebuah perbincangan di tengah liburan, aku bertanya tentang alasan Ibu mewajibkanku untuk kuliah dulu di Indonesia. Beliau kemudian berkisah tentang kondisi desa kami, desa pinggiran yang bahkan sinyal telepon pun masih timbul tenggelam. Desa kami seperti umumnya desa pinggiran di Indonesia, masih belum banyak warganya yang sadar tentang pentingnya sekolah, apalagi tentang pendidikan yang memerdekakan. Karenanya, beliau ingin agar kami, aku dan kedua saudaraku, bisa belajar banyak ketika kuliah, mengalami sendiri bagaimana sebenarnya keadaan Indonesia yang sesungguhnya, untuk kemudian bisa pulang dan menjadi bagian dari perbaikan. Bagaimana rasanya berbincang dengan mas-mas angkringan tentang mahalnya beras sampai larut, tercoreng mukanya  dan terbatuk oleh asap sepeda motor dan mobil yang semakin sesak, meringis ketika hanya bisa terdiam saat melihat nenek renta yang masih berjualan pisang rebus sampai malam. Bukan hanya sekedar membaca Indonesia dari media, bukan hanya sekedar melihat Indonesia dari kejauhan, bukan hanya sekedar mengeluh soal kegelapan, tapi benar-benar bisa hidup di tengah Indonesia. Pemahaman tentang Indonesia sebagai amanah inilah yang hendak beliau tanamkan pada kami, tentang mencintai Indonesia, bukan hanya merasakan pantai-ombak-gunung-matahari terbit dan purnama-nya, tetapi juga merasakan semuanya, memperjuangkannya, mengusahakannya, untuk bisa mencintainya tanpa syarat.

Bukan, aku tidak kemudian bermaksud mengecilkan niatan baik dari rekan-rekan kita yang bersekolah di luar negeri untuk tetap berbakti pada negeri ini. Kita semua sudah sepakat, bahwa pilihan untuk pulang kembali ke Indonesia dan mengabdi di sini, tidak saling menegasikan dengan pilihan untuk tetap berada di luar negeri dan berkontribusi dari jauh. Satu hal yang salah adalah ketika pulang justru menjadi beban atau tetap di luar namun hanya menjadikan kontribusi sebagai retorika semata. Namun menurutku, tetap saja, belajar dan mengalami sendiri itu berbeda dengan sekedar membaca dari portal berita online dan gosip-gosip yang beredar. Aku tidak mau, kita menjadi bagian dari mereka yang hanya tahu soal Indonesia dari media, hanya tahu bahwa di Indonesia ada segudang masalah, namun tidak mau menyingsingkan lengan untuk turun tangan dan membersihkannya. Aku tidak mau, kita menjadi bagian dari mereka yang mengerdilkan pentingnya kontribusi di gerakan mahasiswa hanya karena termakan media yang memalsukan aksi hingga seolah terlihat seperti anarki.

Maka ketika melihat tulisan “Andai saya mendapat beasiswa ke Jepang” menjadi nomor ke dua belas dalam daftar mimpimu malam itu, aku bertekad suatu saat akan mengirimkan surat ini ketika tiba waktu yang tepat.

Ada yang bilang, mungkin dengan setengah bercanda, kalau sekolah di luar negeri itu ibarat jalan-jalan berkedok penelitian. Semoga bukan demikian kita mengartikannya. Memang tidak bisa dipungkiri bahwa salah satu kemewahan sekolah di luar negeri adalah bisa berakrab dengan musim yang tidak ada di negeri sendiri, bisa belajar dari berbagai jenis manusia, bahasa dan budaya atau keajaiban alam yang membuat kita menahan nafas karena tidak ada di Indonesia. Namun, apakah itu pantas menjadi tujuan utamanya? Semoga bukan demikian kita mengartikannya. Karena sekolah diluar negeri itu, bukan hanya soal gengsi dan kebanggaan semata. Namun ada amanah yang mesti dipertanggungjawabkan dalam proses itu. Pun ketika kamu tidak berjodoh dengan beasiswa dari Pemerintah (yang notabene adalah uang milik rakyat), bukan berarti amanah untuk berkontribusi pada negeri ini lepas begitu saja. Karena kontribusi untuk negeri ini bukanlah pilihan, ia adalah kewajiban.

Sekolah di luar negeri, seperti di tempatku sekarang, akan mengajarkan kita untuk bisa melangkah keluar dari zona nyaman dan belajar banyak tentang hidup. Bagaimana menjadi sosok yang open mind dan rendah hati ketika bertemu dengan orang-orang baru, sesederhana seperti bagaimana menyikapi keterbatasan pilihan menu makanan sehari-hari, bagaimana bisa berkontribusi terhadap komunitas sosial di sini, bagaimana bisa bergaul namun masih setia dengan prinsip, berbaur namun tidak melebur, serta masih banyak lagi celah-celah yang perlu kamu persiapkan sebelum datang. Sekali lagi, karena niat kita adalah untuk studi, maka pedoman universal dari guru kita waktu itu patut dicamkan baik-baik : bahwa setiap orang adalah guru dan setiap tempat adalah ruang kelas yang penuh ilmu.

Ada banyak jalan untuk mencapainya, banyak setapak yang bisa kamu pilih untuk menyusulku di sini. Entah kamu mengikuti jalan setapak yang sudah dibuka oleh kakak-kakak kita sebelumnya atau justru memilih meretas jalan baru dan membuka belukar menuju negeri yang masih jarang pelajar Indonesia-nya. Kedua pilihan itu, sekali lagi bergantung kepada niatan dan orientasi kita mencari ilmu. Karena seberapa kuat motivasi itu menancap, ia akan menentukan seberapa sungguh kita mau bekerja keras untuk meraihnya. Kita bisa dan harus mau belajar dari mereka-mereka yang sudah lebih dulu sampai. Agar kemudian kita belajar bahwa jalan menuju ke sana tidaklah bertabur bunga namun dipenuhi dengan kerja keras, kerja keras dan kerja keras. Seberapa banyak cerita yang sudah kamu dengar, seberapa kenyang kamu baca kisah tentang mereka, seberapa sering kamu mengulang narasi-narasi tentang perjuangan mereka menggapai mimpi? Maka dari situ kita bisa belajar, bahwa tidak ada elevator yang membawa kita langsung menuju kesuksesan. Ada anak tangga yang perlu kita daki satu-satu untuk bisa sampai ke atas. Pembeda satu dengan yang lain hanyalah konsistensi dan akselerasi-nya. Ada yang bisa sampai lebih cepat, ada juga yang memilih berjalan agak lambat, ada yang konsisten berjuang sampai atas, ada juga yang tertahan ditengah dan kemudian jatuh ke bawah. Akselerasi dan konsistensi ini, diikat oleh sebuah simpul yang bernama kerja keras, bukan hanya kerja keras yang meletup singkat kemudian padam namun kerja-kerja yang istiqomah dan bertahan hingga mimpi itu ada di genggaman tangan. Ini yang sulit.

Sedikit cerita dariku, ketika dalam sebuah forum sosialisasi beasiswa luar negeri, pembawa acara waktu itu membuka dengan sebuah pertanyaan menarik.

Dari sekitar 100 orang yang hadir di ruangan ini, berapa yang sudah mengantungi nilai TOEFL di atas 550?

Hening, tidak ada yang mengangkat tangan.

Baik, saya turunkan standarnya, lanjut beliau. Berapa dari yang hadir ini yang sedang mengambil kursus atau les untuk persiapan TOEFL?

Satu dua tangan terangkat.

Tidak sampai sepuluh ya? kata beliau. Oke, saya rendahkan lagi, berapa dari rekan-rekan peserta seminar beasiswa luar negeri kali ini yang sedang bersungguh-sungguh belajar bahasa asing?

Beberapa mulai mengangkat tangan, tidak semua, hanya sebagian.

Nah, dari sini, kita bisa menyimpulkan, bahwa belum semua dari kita yang ada di ruangan ini benar-benar mengartikan impian sekolah ke luar negeri sebagai sebuah cita-cita. Sebagian masih mengartikannya hanya sebagai angan dan ingin semata. Apa buktinya? Bagi mereka yang sudah serius menjadikan sekolah ke luar negeri sebagai cita-cita, pasti dia sudah merencanakannya dengan sungguh-sungguh : mempersiapkan sertifikat bahasa asing yang sesuai standar, aktif mencari tahu tentang jurusan yang ada di universitas di negara tujuan, bersemangat mengumpulkan informasi tentang beasiswa dan bersiap dengan persyaratan-persyaratan dan sebagainya.

Bagaimana pendapatmu, cah bagus? How far will you fight for your dreams? Bagaimana denganmu, sudah seberapa jauh persiapanmu? Berapa TOEFL-mu, berapa IPK-mu nanti, bagaimana research-mu dan track record-mu di kampus nanti? Maka persiapkanlah semuanya dengan selalu mengusahakan yang terbaik. Namun aku selalu optimis, kalau bicara tentang kamu, aku yakin bahwa sekali kamu menentukan target maka kamu akan mengusahakannya sampai berpeluh dan berpayah. Aku tunggu kamu di sini, hingga kita bisa berfoto bersama nanti, di bawah Tokyo Tower dengan latar belakang salju yang mulai memutih dan menumpuk di bawah sepatu.

Catch me if you can.

Selamat berjuang, cah bagus!!

***

Diniatkan sebagai nasihat untuk diri sendiri, semoga senantiasa bisa mengejawantahkan syukur itu lewat kerja-kerja produktif nan istiqomah.

1.7.13

010713

Mimpi-mimpi kamu, cita-cita kamu, keyakinan kamu apa yang kamu mau kejar, biarkan ia menggantung, mengambang lima senti di depan kening kamu. Jadi ia tidak akan pernah lepas dari mata kamu. Dan kamu bawa mimpi dan keyakinan kamu itu setiap hari, kamu lihat setiap hari dan percaya bahwa kamu bisa.

Apa pun hambatannya, bilang pada diri kamu sendiri kalau kamu percaya dengan keinginan itu dan kamu tidak bisa menyerah. Bahwa kamu akan berdiri lagi setiap kamu jatuh. Bahwa kamu akan mengejarnya sampai dapat, apa pun itu.

Segala keinginan, mimpi, cita-cita, keyakinan diri.

Biarkan keyakinan kamu, lima senti mengambang di depan kening kamu. Dan sehabis itu yang kamu perlu cuma kaki yang akan berjalan lebih jauh dari biasanya, tangan yang akan berbuat lebih banyak dari biasanya, mata yang akan menatap lebih lama dari biasanya, leher yang akan lebih sering melihat ke atas, lapisan tekad yang seribu kali lebih keras dari baja dan hati yang akan bekerja lebih keras dari biasanya, serta mulut yang akan selalu berdoa.

Keep our dreams alive, and we will survive.
- 5 cm