Pages

1.1.14

Catatan Akhir Tahun

Malam ini malam di mana orang-orang merayakan malam tahun baru, menyulut petasan, menyalakan kembang api. Suara ledakannya terdengar di sana-sini, termasuk di sudut bilik saya. Suara anak-anak kecil ramai di luar. Sempat saya ke beranda untuk mengintip sedikit percik kembang api yang kuning keemasan menyala di langit sembari mengembalikan handuk yang baru dipakai. Lalu saya kembali lagi ke kamar, tak menghiraukan hingar-bingar petasan yang sudah ribut sejak senja tiada.

Saya kemudian ingat dengan berbagai kejadian di hari kemarin, kemarin lusa, dan kemarinnya kemarin lusa. Setahun ini sungguh banyak peristiwa yang berharga untuk dijadikan kenangan. Setahun ini banyak kisah yang bisa dijadikan pelajaran. Kalau ditanya soal tahun paling membahagiakan semenjak saya menyeberangi Bakauheni 3 tahun silam, 2013 mungkin jawaban saya. Bukan soal peristiwa-peristiwa yang saya alami. Bukan soal orang-orang yang saya temui. Tapi tentang diri saya. Tentang saya yang begitu menikmati menjadi diri sendiri di tahun ini.

Sebenarnya bukan perkara istimewa ketika saya bilang ini adalah salah satu tahun paling membahagiakan. Saya pun pernah berkata demikian ketika saya di sekolah dasar dan menengah. Pun akan mengatakan hal serupa di tahun-tahun mendatang, ketika saya mengalami kejadian signifikan yang memengaruhi emosi saya. Toh, setiap kata-kata superlatif yang saya lontarkan mungkin hanya akan menyisakan potongan-potongan kenangan yang tidak utuh karena keterbatasan memori. Otak saya percaya-percaya saja secara pars pro toto bahwa setahun ini sungguh membahagiakan. Tetapi sekali lagi ini bukan karena peristiwa-peristiwa yang saya alami juga orang-orang yang saya temui. Ini karena saya telah menjadi diri sendiri.

Ketika usia saya 16, saya pernah terlibat dalam suatu percakapan kecil dengan guru saya. Waktu itu sudah malam, dan kami bukan sedang duduk di kelas atau pun lapangan apel. Malam itu kami sedang berada di bus studi wisata yang sedang melaju di dataran tinggi kota Bandung, duduk di kursi yang berurutan depan-belakang. Saya senang sekali bertingkah layaknya anak kecil kala itu, apa saja yang menarik dikomentari dan dikagumi. Tetapi Bandung memang begitu memukau malam itu. Lautan kelap-kelip lampu rumah penduduk dari kejauhan yang jarang saya lihat membuka obrolan kecil. Potongan dialog yang saya ingat di antara celotehan beliau, atau lebih tepatnya bisik lirih di kegelapan bus malam itu:
"Kamu tahu, yan, apa yang belum bisa saya raih sampai saat ini?"
"Apa, Bu?"
"Saya belum bisa menjadi diri sendiri."

Sedikit demi sedikit saya mulai mengerti arti kalimat dari guru saya itu. Bahagia karena menjadi diri sendiri menurut saya adalah bahagia karena sudah memerdekakan jiwa dari belenggu ketidakpercayaan terhadap diri sendiri, mungkin juga terhadap orang lain. Dan menjadi diri sendiri versi saya adalah "menjadi diri terbaik saya, be my best-self", melakukan hal baik dengan cara terbaik versi saya. Ketika menjadi diri sendiri, saya bisa berkata, berpikir, bertindak, secara jujur. Dan saya hanya bisa jatuh cinta ketika saya menjadi diri sendiri. Saya baru sadar kenapa saya sempat kesulitan jatuh cinta (oh my God -_-), karena--mungkin--saya tidak menjadi diri sendiri kala itu.

Saya pernah bertemu dengan orang-orang yang begitu bersinar karena mereka menjadi diri "terbaik" mereka. Mereka bukannya tanpa cacat, pun bukan tidak mengetahui mereka ada cacat di mana. Mereka sanggup mengatakan cacat mereka dengan senyum yang lebar dan yakin bahwa hal itu tidak menurunkan kualitas mereka. Mereka baik lewat cara mereka masing-masing.

Oleh karena itu, walaupun hari ini sebenarnya serupa dengan hari-hari biasanya, hanya karena ada momentum yang membuat orang-orang itu sengaja bersorak-sorai bahkan berteriak di jejaring sosial bahwa ini adalah lembaran baru mereka, saya ingin menjadi diri sendiri dengan lebih baik lagi di tahun 2014. Kita tak akan bisa menjadi diri sendiri jika kita tak mengenali diri. Maka langkah pertama yang harus saya lakukan adalah memetakan kembali siapakah diri saya, apa tujuan saya, kapan, dan bagaimana cara mencapainya--walaupun 'bagaimana cara' ini sungguh banyak dan fleksibel, ada banyak jalan menuju roma.

Selamat tinggal 2013. Selamat datang 2014. :)

Jakarta, ditemani secangkir susu
31 Desember 2013

No comments:

Post a Comment