Pages

13.8.15

25

"Sekiranya aku seorang Belanda, aku tidak akan menyelenggarakan pesta-pesta kemerdekaan di negeri yang telah kita rampas sendiri kemerdekaannya. Sejajar dengan jalan pikiran itu, bukan saja tidak adil, tetapi juga tidak pantas untuk menyuruh si inlander memberikan sumbangan untuk dana perayaan itu. Ide untuk menyelenggarakan perayaan itu saja sudah menghina mereka, dan sekarang kita keruk pula kantongnya. Ayo teruskan saja penghinaan lahir dan batin itu! Kalau aku seorang Belanda, hal yang terutama menyinggung perasaanku dan kawan-kawan sebangsaku ialah kenyataan bahwa inlander diharuskan ikut mengongkosi suatu kegiatan yang tidak ada kepentingan sedikit pun baginya."

Kutipan tersebut adalah tulisan Suwardi Suryaningratatau yang akan dikenal dengan nama Ki Hajar Dewantarayang dimuat dalam De Express pada medio 1913 dengan judul asli "Als ik een Nederlander was". Akibat tulisannya yang pedas itu, ia diasingkan ke Belanda bersama dengan teman-teman yang membelanya: Douwes Dekker dan Cipto Mangunkusumo, yang kemudian akan membentuk Tiga Serangkai. Kala itu, Suwardi berusia dua puluh empat, jalan dua puluh lima.

Muhammad menikahi Khadijah dengan mahar dua puluh unta muda pada usia dua puluh lima, usia yang sama ketika Abdullah bin Abdul Muthalib, ayahnya, meninggalkan status yatim pada bayi Muhammad. Juga pada usia dua puluh lima, Facebook yang dikembangkan oleh Mark Zuckerberg berhasil melampaui break even point dan berhasil menjaring lebih dari tiga ratus juta pengguna.

Sementara, saya di sini, pada usia yang akhirnya mencapai dua puluh lima, sedang menulis tulisan di blog dan mulai menampakkan salah satu gejala krisis seperempat baya dengan mulai membanding-bandingkan kehidupan saya dengan orang-orang terkenal di atas. Tapi saya segera tahu diri. Tak perlulah saya mengkhayal untuk jadi berarti di waktu yang sama. Toh, manusia punya ceritanya sendiri-sendiri.

Namun, ucapan-ucapan selamat beberapa hari yang lalu, baik yang disampaikan langsung maupun lewat Whatsapp, entah karena memang ingat dengan tanggal lahir saya ataupun tak sengaja melihat di Sikka, mau tak mau membuat saya merefleksikan apa-apa saja yang telah saya capai di usia yang tak lagi belia ini. Saya lalu ingat pada salah satu target yang selalu jadi penghuni tetap daftar resolusi tiap tahun: saya harus menghasilkan tulisan, baik itu berupa buku ataupun kolom di surat kabar.

Sialnya, jauh panggang dari api, tampaknya belum ada tanda-tanda untuk mencoret target tersebut, untuk digantikan dengan target yang lebih ambisius. Tulisan di blog saja tak rutin dibuat. Pikiran-pikiran random yang kerapkali tak tahu diri kapan munculnya menguap begitu saja atau hanya jadi bahan lamunan. Sering, ide tulisan yang datang tiba-tiba hanya teronggok di aplikasi notes di smartphone tanpa saya tindak lanjuti. Merasa kurang ilmu, merasa belum banyak membaca, merasa kurang pengalaman, tak mau terbuka, menunggu momen-momen menarik di antara rutinitas harian yang monoton, juga menjadi salah empat-lima sebab-sebab saya urungatau lebih tepatnyamenunda menulis.

Adalah Rainer Maria Rilke, seorang penyair berkebangsaan Eropa yang sajaknya pernah diterjemahkan oleh Chairil Anwar, memberikan nasihat yang begitu menampar saya. Rilke, sebagaimana tulisannya dalam Letters to a Young Poet, menasihati agar penulis muda tak dibutakan oleh hasrat untuk menulis konsep-konsep besar, tapi justru merayakan yang sehari-hari. "Apabila keseharianmu terasa miskin", tulis Rilke, "jangan salahkan kehidupan. Salahkan dirimu. Kau tak cukup memadai sebagai penyair untuk menguak kekayaannya."

Saya menemukan petuah ini ketika blog-walking beberapa hari yang lalu, dengan niat awal mencari hal yang sangat random (dan rahasia) di Google. Sebenarnya nasihat seperti ini pernah bergaung di kepala saya sekian tahun yang lalu. Arswendo Atmowiloto, dalam bukunya Mengarang Itu Gampang, telah berhasil menjerumuskan saya yang kala itu duduk di bangku SMA, masuk ke kelompok orang-orang yang menganggap menulis adalah kegemarannya. Gambaran besarnya sama, tulislah apa yang ada di dekatmu. Seharusnya, saya, sebagaimana lazimnya makhluk yang mampu melihat keadaan meja saat saya menulis tulisan ini, bisa menghasilkan tulisan dari cangkir kopi yang berisi setengah ataupun dari gantungan kunci pemberian teman SMA saya dulu (gantungan kunci boneka hewan yang sampai sekarang saya tidak tahu pasti itu hewan apa, entah tapir, trenggiling, atau anteater si pemakan semut).

Saya telah meremehkan apa-apa yang saya punya di dalam diri saya, sebut saja kenangan masa kecil, atau imajinasiini yang paling pentingdan mengatakan saya tak punya inspirasi untuk menulis. Seharusnya, saya bisa meniru Sapardi yang piawai merangkum makna di balik ganjilnya hujan di bulan Juni, atau mampu menciptakan dua baris Tuan setelah melihat ada tamu yang bertandang ke rumahnya. Bahkan, Tetralogi Buru yang legendaris itu ditulis oleh Pram dari balik jeruji penjara. Terkadang, saya menghakimi sisi spiritualitas saya akan hal ini, karena hanya orang-orang yang bersyukurlah yang mampu mencerap hikmah dari tiap hal yang tampak sederhana.

Tampaknya, saya mesti mereka ulang sebab-sebab saya mencantumkan hal-hal terkait kepenulisan ke dalam daftar mimpi saya dan bekerja keras apabila saya serius ingin mewujudkannya. Tak ada yang berhasil dari hal yang tak gigih diusahakan dengan konsisten.

"Kalau hidup sekadar hidup, babi di hutan juga hidup. Kalau kerja sekadar bekerja, kera di hutan juga bekerja."

Kata-kata Buya Hamka di atas seharusnya cukup jadi pelecut saya untuk terus berkarya. Pada akhirnya nanti, saya akan menemukan diri saya apakah akan menjadikan menulis sebagai kebutuhan atau tidak. Apakah akan menjadikannya jalan untuk berarti bagi sesama atau hanya sebagai pengisi ruang kecil yang memperkaya daftar kegemaran. Semoga tidak terlambat pada usia dua puluh lima ini.

Pada usia dua puluh lima, mungkin Zuckerberg bisa berbangga dengan Facebook-nya, sementara CEO Starbucks, Howard Schultz, masih berkutat dengan pekerjaannya sebagai salesman di Xerox. Di belahan dunia lainnya, pada usia yang sama, Kartini & Cornel Simanjuntak mati muda, tapi dengan meninggalkan karya. Tak ada mati yang menguburkan hidup yang berarti.

Selamat ulang tahun, Dian. Semoga berkah. Semangat berkarya. :)


1 comment: