Tiga perempuan sedang berbincang-bincang di suatu ruangan.
A: Kalian berdua, jika harus memilih salah satu, lebih pilih mana, mencintai atau dicintai?
B: Tentu saja dicintai. Tak ada beban. Tak ada rasa sakit.
A: Hahaha, memang itu pilihan yang sedikit egois, tetapi realistis. Bagaimana dengan kau?
C: Aku juga lebih pilih dicintai. Perempuan akan lebih mudah jatuh cinta kepada orang yang mencintainya.
A: Aku rasa benar pendapatmu. Bahkan, mungkin bukan perempuan saja. Manusia pada kodratnya yang paling manusiawi memang mengetahui perasaan cinta dari dicintai terlebih dahulu—oleh Tuhan, orang tuanya, kakek, nenek, paman, bibi, dan lainnya—baru belajar mencintai.
C: Iya. Mencintai pasangan kita juga dapat kita atur sendiri, sedangkan membuat orang lain mencintai kita, itu di luar kuasa kita.
B: Dan laki-laki, cenderung punya perasaan ingin berjuang mendapatkan cinta perempuan. Klop. Cocok. Saling melengkapi. Perempuan mana yang tidak ingin diperjuangkan oleh laki-laki? Walaupun aku yakin idealnya tentu saja keduanya saling mencintai.
C: Lalu bagaimana dengan kau sendiri?
A: Awalnya aku kukuh pada idealismeku untuk mendapatkan kondisi ideal, saling mencintai di saat janji pernikahan diikrarkan. Tetapi, setelah kupikir-pikir, dicintai terlebih dahulu juga merupakan pilihan menarik.
Mereka terkikik-kikik bersamaan.
Kertas Buram
Ada huruf. Ada angka. Ada gambar. Ada coretan-coretan.
31.10.15
Nemu di Facebook. Setuju.
Never waste your time trying to convince someone else of your worth. If they can't see it, they are not worth the effort.
If you have to try to convince someone of your worth, that means they don't already know it. And if they don't already know it, how can they value you and the relationship?
If you have to try to convince someone of your worth, that means they don't already know it. And if they don't already know it, how can they value you and the relationship?
13.8.15
25
"Sekiranya aku seorang Belanda, aku tidak akan menyelenggarakan pesta-pesta kemerdekaan di negeri yang telah kita rampas sendiri kemerdekaannya. Sejajar dengan jalan pikiran itu, bukan saja tidak adil, tetapi juga tidak pantas untuk menyuruh si inlander memberikan sumbangan untuk dana perayaan itu. Ide untuk menyelenggarakan perayaan itu saja sudah menghina mereka, dan sekarang kita keruk pula kantongnya. Ayo teruskan saja penghinaan lahir dan batin itu! Kalau aku seorang Belanda, hal yang terutama menyinggung perasaanku dan kawan-kawan sebangsaku ialah kenyataan bahwa inlander diharuskan ikut mengongkosi suatu kegiatan yang tidak ada kepentingan sedikit pun baginya."
Kutipan tersebut adalah tulisan Suwardi Suryaningrat—atau yang akan dikenal dengan nama Ki Hajar Dewantara—yang dimuat dalam De Express pada medio 1913 dengan judul asli "Als ik een Nederlander was". Akibat tulisannya yang pedas itu, ia diasingkan ke Belanda bersama dengan teman-teman yang membelanya: Douwes Dekker dan Cipto Mangunkusumo, yang kemudian akan membentuk Tiga Serangkai. Kala itu, Suwardi berusia dua puluh empat, jalan dua puluh lima.
Muhammad menikahi Khadijah dengan mahar dua puluh unta muda pada usia dua puluh lima, usia yang sama ketika Abdullah bin Abdul Muthalib, ayahnya, meninggalkan status yatim pada bayi Muhammad. Juga pada usia dua puluh lima, Facebook yang dikembangkan oleh Mark Zuckerberg berhasil melampaui break even point dan berhasil menjaring lebih dari tiga ratus juta pengguna.
Sementara, saya di sini, pada usia yang akhirnya mencapai dua puluh lima, sedang menulis tulisan di blog dan mulai menampakkan salah satu gejala krisis seperempat baya dengan mulai membanding-bandingkan kehidupan saya dengan orang-orang terkenal di atas. Tapi saya segera tahu diri. Tak perlulah saya mengkhayal untuk jadi berarti di waktu yang sama. Toh, manusia punya ceritanya sendiri-sendiri.
Namun, ucapan-ucapan selamat beberapa hari yang lalu, baik yang disampaikan langsung maupun lewat Whatsapp, entah karena memang ingat dengan tanggal lahir saya ataupun tak sengaja melihat di Sikka, mau tak mau membuat saya merefleksikan apa-apa saja yang telah saya capai di usia yang tak lagi belia ini. Saya lalu ingat pada salah satu target yang selalu jadi penghuni tetap daftar resolusi tiap tahun: saya harus menghasilkan tulisan, baik itu berupa buku ataupun kolom di surat kabar.
Sialnya, jauh panggang dari api, tampaknya belum ada tanda-tanda untuk mencoret target tersebut, untuk digantikan dengan target yang lebih ambisius. Tulisan di blog saja tak rutin dibuat. Pikiran-pikiran random yang kerapkali tak tahu diri kapan munculnya menguap begitu saja atau hanya jadi bahan lamunan. Sering, ide tulisan yang datang tiba-tiba hanya teronggok di aplikasi notes di smartphone tanpa saya tindak lanjuti. Merasa kurang ilmu, merasa belum banyak membaca, merasa kurang pengalaman, tak mau terbuka, menunggu momen-momen menarik di antara rutinitas harian yang monoton, juga menjadi salah empat-lima sebab-sebab saya urung—atau lebih tepatnya—menunda menulis.
Adalah Rainer Maria Rilke, seorang penyair berkebangsaan Eropa yang sajaknya pernah diterjemahkan oleh Chairil Anwar, memberikan nasihat yang begitu menampar saya. Rilke, sebagaimana tulisannya dalam Letters to a Young Poet, menasihati agar penulis muda tak dibutakan oleh hasrat untuk menulis konsep-konsep besar, tapi justru merayakan yang sehari-hari. "Apabila keseharianmu terasa miskin", tulis Rilke, "jangan salahkan kehidupan. Salahkan dirimu. Kau tak cukup memadai sebagai penyair untuk menguak kekayaannya."
Saya menemukan petuah ini ketika blog-walking beberapa hari yang lalu, dengan niat awal mencari hal yang sangat random (dan rahasia) di Google. Sebenarnya nasihat seperti ini pernah bergaung di kepala saya sekian tahun yang lalu. Arswendo Atmowiloto, dalam bukunya Mengarang Itu Gampang, telah berhasil menjerumuskan saya yang kala itu duduk di bangku SMA, masuk ke kelompok orang-orang yang menganggap menulis adalah kegemarannya. Gambaran besarnya sama, tulislah apa yang ada di dekatmu. Seharusnya, saya, sebagaimana lazimnya makhluk yang mampu melihat keadaan meja saat saya menulis tulisan ini, bisa menghasilkan tulisan dari cangkir kopi yang berisi setengah ataupun dari gantungan kunci pemberian teman SMA saya dulu (gantungan kunci boneka hewan yang sampai sekarang saya tidak tahu pasti itu hewan apa, entah tapir, trenggiling, atau anteater si pemakan semut).
Saya telah meremehkan apa-apa yang saya punya di dalam diri saya, sebut saja kenangan masa kecil, atau imajinasi—ini yang paling penting—dan mengatakan saya tak punya inspirasi untuk menulis. Seharusnya, saya bisa meniru Sapardi yang piawai merangkum makna di balik ganjilnya hujan di bulan Juni, atau mampu menciptakan dua baris Tuan setelah melihat ada tamu yang bertandang ke rumahnya. Bahkan, Tetralogi Buru yang legendaris itu ditulis oleh Pram dari balik jeruji penjara. Terkadang, saya menghakimi sisi spiritualitas saya akan hal ini, karena hanya orang-orang yang bersyukurlah yang mampu mencerap hikmah dari tiap hal yang tampak sederhana.
Tampaknya, saya mesti mereka ulang sebab-sebab saya mencantumkan hal-hal terkait kepenulisan ke dalam daftar mimpi saya dan bekerja keras apabila saya serius ingin mewujudkannya. Tak ada yang berhasil dari hal yang tak gigih diusahakan dengan konsisten.
"Kalau hidup sekadar hidup, babi di hutan juga hidup. Kalau kerja sekadar bekerja, kera di hutan juga bekerja."
Kata-kata Buya Hamka di atas seharusnya cukup jadi pelecut saya untuk terus berkarya. Pada akhirnya nanti, saya akan menemukan diri saya apakah akan menjadikan menulis sebagai kebutuhan atau tidak. Apakah akan menjadikannya jalan untuk berarti bagi sesama atau hanya sebagai pengisi ruang kecil yang memperkaya daftar kegemaran. Semoga tidak terlambat pada usia dua puluh lima ini.
Pada usia dua puluh lima, mungkin Zuckerberg bisa berbangga dengan Facebook-nya, sementara CEO Starbucks, Howard Schultz, masih berkutat dengan pekerjaannya sebagai salesman di Xerox. Di belahan dunia lainnya, pada usia yang sama, Kartini & Cornel Simanjuntak mati muda, tapi dengan meninggalkan karya. Tak ada mati yang menguburkan hidup yang berarti.
Selamat ulang tahun, Dian. Semoga berkah. Semangat berkarya. :)
Kutipan tersebut adalah tulisan Suwardi Suryaningrat—atau yang akan dikenal dengan nama Ki Hajar Dewantara—yang dimuat dalam De Express pada medio 1913 dengan judul asli "Als ik een Nederlander was". Akibat tulisannya yang pedas itu, ia diasingkan ke Belanda bersama dengan teman-teman yang membelanya: Douwes Dekker dan Cipto Mangunkusumo, yang kemudian akan membentuk Tiga Serangkai. Kala itu, Suwardi berusia dua puluh empat, jalan dua puluh lima.
Muhammad menikahi Khadijah dengan mahar dua puluh unta muda pada usia dua puluh lima, usia yang sama ketika Abdullah bin Abdul Muthalib, ayahnya, meninggalkan status yatim pada bayi Muhammad. Juga pada usia dua puluh lima, Facebook yang dikembangkan oleh Mark Zuckerberg berhasil melampaui break even point dan berhasil menjaring lebih dari tiga ratus juta pengguna.
Sementara, saya di sini, pada usia yang akhirnya mencapai dua puluh lima, sedang menulis tulisan di blog dan mulai menampakkan salah satu gejala krisis seperempat baya dengan mulai membanding-bandingkan kehidupan saya dengan orang-orang terkenal di atas. Tapi saya segera tahu diri. Tak perlulah saya mengkhayal untuk jadi berarti di waktu yang sama. Toh, manusia punya ceritanya sendiri-sendiri.
Namun, ucapan-ucapan selamat beberapa hari yang lalu, baik yang disampaikan langsung maupun lewat Whatsapp, entah karena memang ingat dengan tanggal lahir saya ataupun tak sengaja melihat di Sikka, mau tak mau membuat saya merefleksikan apa-apa saja yang telah saya capai di usia yang tak lagi belia ini. Saya lalu ingat pada salah satu target yang selalu jadi penghuni tetap daftar resolusi tiap tahun: saya harus menghasilkan tulisan, baik itu berupa buku ataupun kolom di surat kabar.
Sialnya, jauh panggang dari api, tampaknya belum ada tanda-tanda untuk mencoret target tersebut, untuk digantikan dengan target yang lebih ambisius. Tulisan di blog saja tak rutin dibuat. Pikiran-pikiran random yang kerapkali tak tahu diri kapan munculnya menguap begitu saja atau hanya jadi bahan lamunan. Sering, ide tulisan yang datang tiba-tiba hanya teronggok di aplikasi notes di smartphone tanpa saya tindak lanjuti. Merasa kurang ilmu, merasa belum banyak membaca, merasa kurang pengalaman, tak mau terbuka, menunggu momen-momen menarik di antara rutinitas harian yang monoton, juga menjadi salah empat-lima sebab-sebab saya urung—atau lebih tepatnya—menunda menulis.
Adalah Rainer Maria Rilke, seorang penyair berkebangsaan Eropa yang sajaknya pernah diterjemahkan oleh Chairil Anwar, memberikan nasihat yang begitu menampar saya. Rilke, sebagaimana tulisannya dalam Letters to a Young Poet, menasihati agar penulis muda tak dibutakan oleh hasrat untuk menulis konsep-konsep besar, tapi justru merayakan yang sehari-hari. "Apabila keseharianmu terasa miskin", tulis Rilke, "jangan salahkan kehidupan. Salahkan dirimu. Kau tak cukup memadai sebagai penyair untuk menguak kekayaannya."
Saya menemukan petuah ini ketika blog-walking beberapa hari yang lalu, dengan niat awal mencari hal yang sangat random (dan rahasia) di Google. Sebenarnya nasihat seperti ini pernah bergaung di kepala saya sekian tahun yang lalu. Arswendo Atmowiloto, dalam bukunya Mengarang Itu Gampang, telah berhasil menjerumuskan saya yang kala itu duduk di bangku SMA, masuk ke kelompok orang-orang yang menganggap menulis adalah kegemarannya. Gambaran besarnya sama, tulislah apa yang ada di dekatmu. Seharusnya, saya, sebagaimana lazimnya makhluk yang mampu melihat keadaan meja saat saya menulis tulisan ini, bisa menghasilkan tulisan dari cangkir kopi yang berisi setengah ataupun dari gantungan kunci pemberian teman SMA saya dulu (gantungan kunci boneka hewan yang sampai sekarang saya tidak tahu pasti itu hewan apa, entah tapir, trenggiling, atau anteater si pemakan semut).
Saya telah meremehkan apa-apa yang saya punya di dalam diri saya, sebut saja kenangan masa kecil, atau imajinasi—ini yang paling penting—dan mengatakan saya tak punya inspirasi untuk menulis. Seharusnya, saya bisa meniru Sapardi yang piawai merangkum makna di balik ganjilnya hujan di bulan Juni, atau mampu menciptakan dua baris Tuan setelah melihat ada tamu yang bertandang ke rumahnya. Bahkan, Tetralogi Buru yang legendaris itu ditulis oleh Pram dari balik jeruji penjara. Terkadang, saya menghakimi sisi spiritualitas saya akan hal ini, karena hanya orang-orang yang bersyukurlah yang mampu mencerap hikmah dari tiap hal yang tampak sederhana.
Tampaknya, saya mesti mereka ulang sebab-sebab saya mencantumkan hal-hal terkait kepenulisan ke dalam daftar mimpi saya dan bekerja keras apabila saya serius ingin mewujudkannya. Tak ada yang berhasil dari hal yang tak gigih diusahakan dengan konsisten.
"Kalau hidup sekadar hidup, babi di hutan juga hidup. Kalau kerja sekadar bekerja, kera di hutan juga bekerja."
Kata-kata Buya Hamka di atas seharusnya cukup jadi pelecut saya untuk terus berkarya. Pada akhirnya nanti, saya akan menemukan diri saya apakah akan menjadikan menulis sebagai kebutuhan atau tidak. Apakah akan menjadikannya jalan untuk berarti bagi sesama atau hanya sebagai pengisi ruang kecil yang memperkaya daftar kegemaran. Semoga tidak terlambat pada usia dua puluh lima ini.
Pada usia dua puluh lima, mungkin Zuckerberg bisa berbangga dengan Facebook-nya, sementara CEO Starbucks, Howard Schultz, masih berkutat dengan pekerjaannya sebagai salesman di Xerox. Di belahan dunia lainnya, pada usia yang sama, Kartini & Cornel Simanjuntak mati muda, tapi dengan meninggalkan karya. Tak ada mati yang menguburkan hidup yang berarti.
Selamat ulang tahun, Dian. Semoga berkah. Semangat berkarya. :)
After a While
After a while
you learn the subtle difference between holding a hand and chaining a soul
and you learn love doesn't mean leaning and company doesn't always mean security
And you begin to learn that kisses aren't contracts and presents aren't always promises
and you begin to accept your defeats with your head up and and your eyes ahead
with the grace of a woman, not the grief of a child.
And you learn to build all your roads on today
because tomorrow's ground is too uncertain for plans and futures have a way of falling down in mid-flight.
After a while you learn that even sunshine burns if you get too much
So you plant your own garden and decorate your own soul
instead of waiting for someone to bring you flowers
And you learn that you really can endure,
that you really are strong
and you really do have worth
and you learn
and you learn
with every good-bye you learn
- Jorge Luis Boerges, translated by Veronica A. Shoffstall
you learn the subtle difference between holding a hand and chaining a soul
and you learn love doesn't mean leaning and company doesn't always mean security
And you begin to learn that kisses aren't contracts and presents aren't always promises
and you begin to accept your defeats with your head up and and your eyes ahead
with the grace of a woman, not the grief of a child.
And you learn to build all your roads on today
because tomorrow's ground is too uncertain for plans and futures have a way of falling down in mid-flight.
After a while you learn that even sunshine burns if you get too much
So you plant your own garden and decorate your own soul
instead of waiting for someone to bring you flowers
And you learn that you really can endure,
that you really are strong
and you really do have worth
and you learn
and you learn
with every good-bye you learn
- Jorge Luis Boerges, translated by Veronica A. Shoffstall
Yang Fana adalah Waktu
Yang fana adalah waktu. Kita abadi:
memungut detik demi detik, merangkainya seperti bunga
sampai pada suatu hari
kita lupa untuk apa.
“Tapi, yang fana adalah waktu, bukan?”
tanyamu.
Kita abadi.
- Sapardi Djoko Damono
Puisi yang saya ingat tiap saya sedang menikmati rindu.
(mungkin saya memang seorang masokis)
10.3.15
Loneliness
man is born alone
and, sure, alone he will die
and in between
he makes some acquaintances
and he takes chances
but he is not always conscious
that most of the time
he spends his time alone
- Ekok Djaka
and, sure, alone he will die
and in between
he makes some acquaintances
and he takes chances
but he is not always conscious
that most of the time
he spends his time alone
- Ekok Djaka
28.2.15
Orang-Orang yang Mencari
Pengalaman hidup membentuk seseorang, baik itu cara pandang, bentuk kasih sayang, bentuk kepedulian, kemarahan, sikap, cara berkata, dan memilih kata. Semua terbentuk bukan tanpa sebab.
Setiap orang lahir dalam kondisi yang berbeda-beda. Ada yang sebagai anak sulung, anak tengah, anak bungsu, atau anak tunggal. Ada yang memiliki orang tua sejak kecil dan merasakan kasih sayang, ada yang memiliki orang tua tapi tidak pernah mendapat kasih sayang, dan ada pula yang tidak memilikinya sehingga tidak pernah merasakan apa itu kasih sayang.
Ada yang lahir dengan paras rupawan, ada yang tidak. Ada yang dicaci sejak kecil sebab fisik yang tidak sempurna. Ada yang terus dipuja-puja seolah-olah tiada cacat tiada cela.
Ada yang memiliki keluarga harmonis, lengkap tiada kurang, harta selalu berlebih. Ada pula yang tidak memiliki semua itu. Untuk makan sehari pun perlu mengais seluruh tong sampah untuk diganti rupiah. Baru rupiah diganti dengan sebungkus nasi.
Ada yang masa lalunya bersih-suci-lurus-tertuntun. Ada pula yang masa lalunya hancur berantakan, sebab susila yang tidak terjaga. Hancurnya keluarga, ketiadaan perhatian, atau sebab apapun yang menjadikan masa kecil dan masa lalunya tidak seindah orang lain. Yang membekas dan membayangi kehidupannya hingga saat ini.
Ada yang dididik beragama, ada pula yang tidak. Sehingga, mereka baru melakukan pencarian dengan pertanyaan-pertanyaan kritis di usia dewasa. Ketika orang lain mungkin sudah tidak bertanya lagi mengapa beragama.
Dalam pencarian itu, ada yang menemukan ada pula yang tidak. Ada yang membuat pilihan ada yang membiarkan dirinya mengalir.
Dan aku, aku adalah orang yang selalu kagum dengan orang yang melakukan pencarian. Pencarian tentang hidup mereka yang seungguhnya. Pertanyaan-pertanyaan hidup yang kritis, pemahaman hidup yang sangat jauh dari kata dangkal. Cara mereka memilih sikap dan memilih risiko.
Aku selalu kagum dengan orang yang melakukan pencarian siapa Tuhannya. Bertanya-tanya mengapa manusia saat ini membuat banyak Tuhan sementara mereka adalah manusia yang sama. Akan sangat aneh jika Tuhan ada lebih dari satu dan menciptakan manusia di satu bumi yang sama.
Aku selalu kagum dengan orang yang melakukan pencarian tentang kehidupannya. Kehidupan seperti apakah yang sejati? Sebab, hidup bukan spekulasi. Seseorang tidak akan tahu kematiannya dan apa yang terjadi setelah dia mati. Jika setiap tuntunan menjanjikan surga, sekali lagi hidup bukan spekulasi. Perlu ada pilihan yang diyakini dan konsekuensi yang diambil.
Orang yang mencari apa tujuan hidupnya akan bertanya-tanya mengapa dia diciptakan dalam kondisi yang seperti itu. Kondisi yang mungkin orang lain sama sekali tidak akan pernah merasakannya. Kondisi yang menempatkannya pada barisan orang-orang yang mencari. Orang-orang yang bertanya-tanya adalah orang-orang yang pada akhirnya akan menemukan. Mereka adalah orang-orang yang memilih karena mencari-memahami-menyadari-lantas mengakui. Tidak sekadar menerima saja keyakinan warisan nenek moyang. Orang-orang yang memilih karena paham apa yang menjadi pilihannya. Tidak sekadar doktrin orang-orang yang dianggap alim dan suci.
Orang-orang ini paham betul bahwa tuntunan tidak selalu tercermin pada penganutnya. Ketika orang-orang saling membunuh dan berbantah dengan alasan membela Tuhan, ketika orang menjadikan tuntunannya sebagai benteng dari kesalahannya, ketika orang membenarkan tindakannya dengan dalih ayat suci, dia tidak terpengaruh oleh mereka. Sebab, tuntunan yang benar akan tetap benar. Hawa nafsu pengikutnyalah yang merusak.
Ketika banyak pengikut yang lebih memilih untuk menyesuikan tuntunan itu kepada cara hidup yang disukainya, orang-orang yang mencari dan menemukan akan memilih untuk menyesuikan cara hidupnya kepada tuntunan yang telah dia pilih. Meski dia harus meninggalkan cara hidupnya yang lama. Sangat berbeda, bukan?
Aku selalu kagum dengan orang yang melakukan pencarian. Pencarian yang sangat berisiko. Tidak semua orang mau melakukannya dan lebih merasa aman menerima saja. Maka aku bersyukur, ketika aku menemukan orang-orang yang mencari. Sebab, aku ternyata tidak sendirian.
Semoga pencarian ini menuntun jalan kita di jalan-Nya. Pada setiap langkah kita menuju-Nya, Dia akan mendekat lebih dekat. Dan Dia-lah yang akan menuntun langkah kaki kita. Sejauh kita percaya bahwa kita menuju Dia yang hanya satu. Dia yang menciptakan langit dan bumi. Dia yang menciptakan manusia.
-- Kurniawan Gunadi
Setiap orang lahir dalam kondisi yang berbeda-beda. Ada yang sebagai anak sulung, anak tengah, anak bungsu, atau anak tunggal. Ada yang memiliki orang tua sejak kecil dan merasakan kasih sayang, ada yang memiliki orang tua tapi tidak pernah mendapat kasih sayang, dan ada pula yang tidak memilikinya sehingga tidak pernah merasakan apa itu kasih sayang.
Ada yang lahir dengan paras rupawan, ada yang tidak. Ada yang dicaci sejak kecil sebab fisik yang tidak sempurna. Ada yang terus dipuja-puja seolah-olah tiada cacat tiada cela.
Ada yang memiliki keluarga harmonis, lengkap tiada kurang, harta selalu berlebih. Ada pula yang tidak memiliki semua itu. Untuk makan sehari pun perlu mengais seluruh tong sampah untuk diganti rupiah. Baru rupiah diganti dengan sebungkus nasi.
Ada yang masa lalunya bersih-suci-lurus-tertuntun. Ada pula yang masa lalunya hancur berantakan, sebab susila yang tidak terjaga. Hancurnya keluarga, ketiadaan perhatian, atau sebab apapun yang menjadikan masa kecil dan masa lalunya tidak seindah orang lain. Yang membekas dan membayangi kehidupannya hingga saat ini.
Ada yang dididik beragama, ada pula yang tidak. Sehingga, mereka baru melakukan pencarian dengan pertanyaan-pertanyaan kritis di usia dewasa. Ketika orang lain mungkin sudah tidak bertanya lagi mengapa beragama.
Dalam pencarian itu, ada yang menemukan ada pula yang tidak. Ada yang membuat pilihan ada yang membiarkan dirinya mengalir.
Dan aku, aku adalah orang yang selalu kagum dengan orang yang melakukan pencarian. Pencarian tentang hidup mereka yang seungguhnya. Pertanyaan-pertanyaan hidup yang kritis, pemahaman hidup yang sangat jauh dari kata dangkal. Cara mereka memilih sikap dan memilih risiko.
Aku selalu kagum dengan orang yang melakukan pencarian siapa Tuhannya. Bertanya-tanya mengapa manusia saat ini membuat banyak Tuhan sementara mereka adalah manusia yang sama. Akan sangat aneh jika Tuhan ada lebih dari satu dan menciptakan manusia di satu bumi yang sama.
Aku selalu kagum dengan orang yang melakukan pencarian tentang kehidupannya. Kehidupan seperti apakah yang sejati? Sebab, hidup bukan spekulasi. Seseorang tidak akan tahu kematiannya dan apa yang terjadi setelah dia mati. Jika setiap tuntunan menjanjikan surga, sekali lagi hidup bukan spekulasi. Perlu ada pilihan yang diyakini dan konsekuensi yang diambil.
Orang yang mencari apa tujuan hidupnya akan bertanya-tanya mengapa dia diciptakan dalam kondisi yang seperti itu. Kondisi yang mungkin orang lain sama sekali tidak akan pernah merasakannya. Kondisi yang menempatkannya pada barisan orang-orang yang mencari. Orang-orang yang bertanya-tanya adalah orang-orang yang pada akhirnya akan menemukan. Mereka adalah orang-orang yang memilih karena mencari-memahami-menyadari-lantas mengakui. Tidak sekadar menerima saja keyakinan warisan nenek moyang. Orang-orang yang memilih karena paham apa yang menjadi pilihannya. Tidak sekadar doktrin orang-orang yang dianggap alim dan suci.
Orang-orang ini paham betul bahwa tuntunan tidak selalu tercermin pada penganutnya. Ketika orang-orang saling membunuh dan berbantah dengan alasan membela Tuhan, ketika orang menjadikan tuntunannya sebagai benteng dari kesalahannya, ketika orang membenarkan tindakannya dengan dalih ayat suci, dia tidak terpengaruh oleh mereka. Sebab, tuntunan yang benar akan tetap benar. Hawa nafsu pengikutnyalah yang merusak.
Ketika banyak pengikut yang lebih memilih untuk menyesuikan tuntunan itu kepada cara hidup yang disukainya, orang-orang yang mencari dan menemukan akan memilih untuk menyesuikan cara hidupnya kepada tuntunan yang telah dia pilih. Meski dia harus meninggalkan cara hidupnya yang lama. Sangat berbeda, bukan?
Aku selalu kagum dengan orang yang melakukan pencarian. Pencarian yang sangat berisiko. Tidak semua orang mau melakukannya dan lebih merasa aman menerima saja. Maka aku bersyukur, ketika aku menemukan orang-orang yang mencari. Sebab, aku ternyata tidak sendirian.
Semoga pencarian ini menuntun jalan kita di jalan-Nya. Pada setiap langkah kita menuju-Nya, Dia akan mendekat lebih dekat. Dan Dia-lah yang akan menuntun langkah kaki kita. Sejauh kita percaya bahwa kita menuju Dia yang hanya satu. Dia yang menciptakan langit dan bumi. Dia yang menciptakan manusia.
-- Kurniawan Gunadi
Subscribe to:
Posts (Atom)